Siang kemarin di momen idul adha ditengah obrolan santai sembari "ngisis" di gazebo, saya iseng berkata, "Dedek besuk kukunya kayak ayah aja ya... lihat nih, kukunya bunda sampai menjorok ke dalem".
Kami berdua sama-sama tertawa memandangi kuku-kuku masing-masing dan tertawa.. Bukan karena kuku saya yang pendek dan kalah lentik dari kuku suami, tapi karena kuku-kuku kami yang masih panjang gegara belum kami potong selama hampir dua minggu sebab menunggu kabar hewan qurban kami dipotong dahulu.
Suami menimpali, "Tenang saja.. aku tetap mencintai ketidak-sempurnaan kukumu." Ehm...Bukan kalimat gombal, namun filosofis, sebab kemudian ia panjang lebar menguraikan pandangan-pandangannya. Kami pun tenggelam dalam diskusi tentang "ketidaksempurnaan".
Ya... bodoh jika ada orang yang menganggap bahwa pernikahan dua orang yang sama-sama sempurna itu akan hadirkan bahagia. Ia hanyalah angan-angan remaja yang belum cukup umurnya yang selalu memandang segala akan indah jika berawal dari titik sempurna. Ingin jodoh yang sempurna fisik, pula lainnya.
Seperti suami saya katakan, "jika pasangan sudah sempurna, lalu apa lagi yang akan kita lakukan?". Saya mengamininya. Benarlah. Bukankah pernikahan yang baik itu adalah pernikahan yang tumbuh-menumbuhkan, hebat-menghebatkan?
Ia berurai kembali, "Justru ketidaksempurnaan itu memberi ruang bagi pasangan untuk lebih mencintai pasangannya." Saya menimpali, "Maksudnya, substitusi begitu? Saling memberikan ruang penerimaan atas kekurangan masing-masing?" Ia menjawab, "Tidak hanya itu. Tapi, seseorang akan cenderung ingin mencintai pasangannya dengan lebih baik sebagai wujud terima kasihnya sebab pasangannya bersedia menerima kekurangan-kekurangannya. Kekurangan-kekurangan yang pada awalnya dia sendiri ragu dan mengkhawatiri apakah pasangannya sanggup menerimanya atau tidak. Namun, waktu telah menjawab bahwa pasangannya tak mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya. Inilah yang membuat seseorang ingin memberikan dan mencintai yang 'lebih' kepada pasangannya." Saya kemudian mengangguk mengerti.
Duhai... ternyata, ketidaksempurnaan itulah yang membuat hubungan kita dengan pasangan semakin bertumbuh dan menyempurna. Kesempurnaan "menerima" nyatanya jauh lebih penting dari kesempurnaan yang harus hadir dan melekat dalam diri kita, baik sifat maupun lahiriah (fisik) kita. Wallahu a'lam
(Iva Wulandari)