Karena
bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka
"kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan
da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh
mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik.
"Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain
dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20
tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan
yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah.
Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan
kepentingan da'wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran
nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah, Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua
orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti
mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka
waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus
berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku
tercinta", tuturnya.
Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan
doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan murabbi yang pulang
malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun
mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena
kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati :
Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au
da'wati" : Isteriku atau da'wahku ?".
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah
dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut
bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya
: "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da'wah.
Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da'wah.
Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi
menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan
wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.
Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan
menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak
berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah tersebut
sudah menikmati berkah da'wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah. Kisahnya
mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk
da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absent dalam pertemuan rutin.
Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh
penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna": "kami telah dilalaikan
oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11).
Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya
harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan
harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang
sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka
ia pun absen lagi dan di muhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat
tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll
pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata
ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas
dakwah.
Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan
disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama
dalam forum da'wah, yang penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan
yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah
jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang
lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".